Shalom saudaraku!!
Terima kasih anda telah berkunjug di Renungan Harian Online ini. Saya merasa senang sekali apabila bisa berbagi berkat dengan saudara - saudara seiman.
semoga dengan adanya blog saya ini dapat menyejukkan jiwa anda, dan semoga banyak jiwa yang terpulihkan dengan Renungan Harian Online ini.

Salam dalam Nama Yesus.
Senja Nababan

Friday, May 22, 2009

~Renungan Hari ini , Jumat tanggal 22 Mei 2009

Berperang Setiap Hari
1 Tawarikh 14:8-17

Bacaan dari 1 Tawarikh 14:8-17 berkisah tentang Daud yang baru diteguhkan menjadi raja atas bangsa Israel. Tantangan pertama yang dihadapinya adalah menghadapi orang-orang Filistin yang mau menangkapnya (ayat 8). Gentarkah Daud? Tidak. Ia memimpin bangsanya mengalahkan para penyerbunya. Apa kunci kemenangan Daud? Ini: “Bertanyalah Daud kepada Allah: “Apakah aku harus maju melawan orang Filistin itu dan akan Kauserahkankah mereka ke dalam tanganku?” Tuhan menjawab: “Majulah, Aku akan menyerahkan mereka ke dalam tanganmu” (ayat 10). Ya, Daud tidak lepas melibatkan Tuhan dalam setiap perencanaan dan tindakannya. Dan ia taat melaksanakan apa perintah-Nya (ayat 16).

Setiap hari bagi kita adalah peperangan. Tentu bukan peperangan secara fisik, tetapi seperti kata Paulus, kita berperang melawan “penguasa-penguasa dunia gelap dan roh-roh jahat di udara” (Efesus 6:12). Artinya, peperangan rohani. Kita akan senantiasa berhadapan dengan serbuan godaan, ancaman, dan pencobaan yang bisa menghancurkan hidup, merebut kebahagiaan keluarga, merampas semangat pelayanan, dan menggoyahkan iman kita kepada Tuhan—baik yang datang dari diri sendiri; misalnya kemalasan, kesombongan, pikiran dan prasangka buruk, maupun yang datang dari luar diri kita; misalnya kepahitan dan persoalan hidup, atau juga bisa berupa kesenangan dan tawaran duniawi.

Menghadapi semua itu, tidak ada jalan lain. Seperti Daud, kita perlu selalu melibatkan Tuhan dalam setiap perencanaan dan tindakan kita. Intinya, jangan jauh-jauh dari Tuhan. Selalu berpegang pada-Nya.

TANPA TUHAN, KITA BAGAI PRAJURIT YANG MAJU BERPERANG TANPA SENJATA

Penulis: Ayub Yahya

Wednesday, May 20, 2009

~Renungan Hari ini , Rabu tanggal 20 Mei 2009

Tidak Perlu Menunggu
Nehemia 1:1-11

Kebangkitan Nasional adalah masa bangkitnya kesadaran akan rasa kesatuan dan nasionalisme yang muncul pada 1908. Kesadaran ini muncul ketika Dr. Sutomo dan beberapa kawannya mendirikan perkumpulan pemuda yang bernama Boedi Oetomo. Perkumpulan ini berawal dari diskusi-diskusi beberapa pemuda yang prihatin dengan nasib bangsanya ketika itu. Dari perkumpulan ini lama-lama berkembang menjadi kesadaran akan rasa kesatuan dan nasionalisme, yang pada akhirnya memuncak pada hari Sumpah Pemuda.

Apabila kita melihat sekilas gerakan ini muncul bukanlah dari keseluruhan rakyat Indonesia, tetapi dari beberapa orang individu yang peduli terhadap bangsa. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi dengan bangsa Israel pada zaman Nehemia. Ketika itu bangsa Israel sedang ada dalam masa pembuangan. Sementara itu, keadaan tanah air mereka sedang dalam kesukaran besar dan sangat tercela (ayat 3). Situasi inilah yang membuat Nehemia terpanggil untuk membangun kembali negerinya. Maka, mulailah ia berdoa untuk mengakui segala dosa bangsanya dan meminta pimpinan Tuhan agar bangsanya dapat kembali ke tanah air. Dan akhirnya, dimulai dari kerinduan seorang Nehemia, muncullah kecintaan bangsa Israel akan tanah air. Puncaknya adalah dibangunnya kembali tembok Yerusalem, simbol persatuan dan kesatuan.

Ya, kadang untuk membangun dan memperbaiki sebuah keadaan tidak perlu menunggu para petinggi dan pemimpin bergerak, juga tidak perlu menunggu pihak atau golongan tertentu mencetuskannya. Mulailah dari diri kita sendiri, di lingkungan yang paling dekat.

INGIN MEMPERBAIKI NEGERI INI? JANGAN MENUNGGU! KITA BISA MEMULAI DARI DIRI SENDIRI

Penulis: Riand Yovindra

Tuesday, May 19, 2009

~Renungan Hari ini , Senin tanggal 19 Mei 2009

Jika Tahu Semua
Matius 6:25-34

Seseorang kagum dengan mikroskop karena mampu memperlihatkan sel-sel yang terkecil dalam sebuah benda tertentu. Maka, ia membelinya. Suatu hari karena iseng, ia ingin melihat nasi yang siap disantap di piringnya dengan mikroskop itu. Apa yang terlihat olehnya? Apa yang tadinya tak dapat dilihat oleh mata telanjang, kini menjadi sangat jelas. Ia melihat pemandangan yang sangat menjijikkan. Betapa tidak, makanan yang akan dinikmatinya ternyata penuh dengan kuman. Piring dan sendoknya juga begitu. Penuh kuman. Melihat semua itu, ia tidak jadi makan karena takut.

Bagi manusia, hidup seperti misteri yang tak ada habisnya. Kita tak tahu apa yang terjadi esok. Konyolnya, manusia ingin tahu apa yang bakal terjadi sampai-sampai mereka pergi ke tukang ramal. Sebenarnya, jika kita tahu semua yang akan terjadi pada kita, ketakutan justru akan datang. Kita takkan dapat menikmati hidup hari ini jika tahu sebentar lagi usaha kita bangkrut, sebentar lagi kita sakit, minggu depan kita kecelakaan, dan kejadian-kejadian tak menyenangkan lainnya. Itu sebabnya Tuhan tidak memberi tahu apa yang terjadi esok hari!

Bukan kebetulan jika Tuhan membuat hidup menjadi seperti misteri. Ada banyak perkara di masa depan yang tidak diberitahukan, bukan tanpa alasan. Tuhan ingin kita seperti jam yang berdetak untuk hari ini, tanpa perlu khawatir berapa kali kita harus berdetak esok hari (ayat 34). Hari esok punya kekhawatirannya sendiri. Percayakan hari ini pada Tuhan, dan lakukan hal yang sama esok hari. Bersama Tuhan, kita bisa melewati banyak perkara tanpa dicekam ketakutan dan kekhawatiran.

JIKA MANUSIA TAHU SEMUA APA YANG TERJADI DI HARI ESOK IA TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MENIKMATI HIDUP HARI INI

Penulis: Petrus Kwik

Monday, May 18, 2009

~Renungan Hari ini , Minggu tanggal 18 Mei 2009

Perempuan Pembawa Damai
1 Samuel 25:2-35


Dalam bahasa Mandarin, kata “an” yang berarti damai, sejahtera, terdiri dari dua bagian. Atap dan nu (perempuan). Menurut orang Cina, dalam sebuah rumah akan ada damai jika dalam rumah itu ada seorang perempuan.

Bacaan kita hari ini bercerita tentang Abigail, seorang perempuan yang bijak. Sekalipun menikah dengan seorang yang kasar dan jahat, namun Abigail tidak terpengaruh karakter buruk itu dan tetap menjaga hatinya. Pada waktunya, kebijaksaannya terbukti tidak hanya menyelamatkan nyawanya sendiri, tetapi juga seluruh isi rumahnya. Abigail mampu membawa damai bagi seisi rumahnya, sekalipun ia berada dalam kondisi yang sulit.

Sebagai seorang perempuan, kata “an” maupun ayat di atas membuat saya berpikir. Selama ini, apakah saya “membangun” rumah saya dengan membawa kedamaian, atau malah meruntuhkannya dengan tangan saya sendiri? Dengan cara apa kita membangun atau meruntuhkan rumah kita? Salah satunya adalah lewat perkataan. Kita dapat membangun dan menguatkan orang dengan mengucapkan kata-kata yang baik, dengan memberikan pujian yang tulus serta ayat-ayat firman Tuhan. Namun, kita juga dapat menjatuhkan banyak orang lewat gosip, keluhan, omelan, juga pernyataan-pernyataan yang negatif. Bahkan meski kita ada dalam kondisi yang sulit, kita tak perlu menjadikannya alasan untuk mengeluarkan kata-kata yang meruntuhkan. Justru dalam kondisi sulitlah, peran wanita sebagai pembawa damai sangat dibutuhkan. Manakah yang akan kita pilih hari ini? Perkataan yang membangun atau yang meruntuhkan?

PILIHLAH SELALU KATA-KATA YANG MEMBAWA BERKAT

Penulis: Grace Suryani

Sunday, May 17, 2009

~Renungan Hari ini , Minggu tanggal 17 Mei 2009

Eh, Dikacangin!
Hagai 1:1-11

Dikacangin bukanlah berarti diberi kacang atau dilempari kacang. Dikacangin adalah istilah anak-anak muda yang berarti tidak dianggap atau tidak dipedulikan. Sebagai contoh jika kita menyapa seseorang lalu orang tersebut tidak menjawab, menoleh pun tidak. Ia tidak memedulikan kehadiran kita dan terus asyik dengan dirinya sendiri. Dalam kondisi begitulah kita sedang dikacangin olehnya. Tentu tidak enak jika kita berada di posisi “sidang dikacangin”.

Demikian juga dengan Allah. Allah merasa “dikacangin” oleh bangsa Israel. Bangsa Israel sangat asyik dengan diri mereka sendiri, sehingga tidak lagi peduli dengan kehadiran Allah yang dilambangkan dengan keberadaan Bait Suci. Bait Suci diabaikan. Dibiarkan saja sebagai reruntuhan. Allah mau mereka bertobat bukan semata-mata karena Allah ingin diperhatikan. Akan tetapi karena Allah rindu bersekutu dekat dengan umat-Nya. Lebih lagi, Allah juga mau bangsa Israel sadar bahwa Tuhanlah sumber kehidupan mereka, sumber kemakmuran mereka. Bukankah jika Tuhan menahan berkat-Nya, mereka tidak akan memperoleh kelimpahan hidup (ayat 10,11)?

Allah kita adalah Allah yang mau dekat dengan umat-Nya. Allah yang mau mengungkapkan isi hati dan kehendak-Nya kepada manusia yang dicintai-Nya. Akan tetapi, bagaimana mungkin hal itu terjadi jika kita tidak memedulikan kehadiran-Nya? Jadi, mari kita mulai belajar memedulikan kehadiran Allah. Mulailah dengan cara yang sederhana yaitu dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan dan memperhatikan suara Allah; melalui saat teduh pribadi setiap hari.

ALLAH PEDULI DENGAN KITA APAKAH KITA JUGA PEDULI DENGAN-NYA?

Penulis: Riand Yovindra

Saturday, May 16, 2009

~Renungan Hari ini , Sabtu tanggal 16 Mei 2009

Menjaga Tubuh
Roma 11:36-12:2

Ir. Handrawan Nadesul, dalam bukunya, Jurus Sehat Tanpa Ongkos, mengutip hasil penelitian seorang ahli kesehatan, dr. Robert Butler, yang mengatakan bahwa secara alamiah tubuh manusia dirancang untuk bertahan sampai usia 120 tahun. Salah satu bukti mutakhir adalah masyarakat di sepanjang Teluk Okinawa, Jepang. Rata-rata penduduk di sana berusia di atas 100 tahun. Mereka tidak hanya panjang umur, tetapi juga sehat walafiat.

Kalau saat ini banyak orang setelah melewati usia 60 sudah sakit-sakitan dan lemah fisik, salah satu penyebabnya adalah gaya hidup yang tidak sehat—makan serampangan, tidur sembarangan, malas berolahraga, dan kebiasaan buruk lainnya. Tubuh seperti mobil, kalau tidak dirawat baik-baik, bisa cepat bobrok sebelum waktunya. Kuncinya disiplin diri, tidak mengikuti kemalasan dan kenikmatan jasmani semata.

Paulus mengingatkan, bahwa segala sesuatu—tentunya termasuk tubuh kita—berasal dari Allah (Roma 11:36). Maka, baiklah kita mengembalikannya untuk kemuliaan Allah. Pada zaman Perjanjian Baru ada pemahaman di masyarakat umum ketika itu, bahwa tubuh manusia terbagi dua: tubuh rohaniah dan tubuh jasmaniah; tubuh rohaniah itu baik dan suci, sedang tubuh jasmaniah buruk dan jahat. Karena pemahaman demikian, maka melakukan bermacam dosa jasmani dianggap bukan masalah. Paulus mengoreksi pemahaman keliru tersebut. Tubuh jasmani juga berasal dari Allah. Karena berasal dari Allah, tentu baik adanya. Jadi, perlulah kita menjaganya dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya; bahkan menjadikannya sebagai persembahan yang hidup kepada Allah (Roma 12:1)

UMUR KITA MEMANG DI TANGAN TUHAN NAMUN KITA BERPERAN MEMPERPANJANG ATAU MEMPERPENDEKNYA

Penulis: Ayub Yahya

Friday, May 15, 2009

~Renungan Hari ini , Jumat tanggal 15 Mei 2009

Di Belakang Allah
Kejadian 8:1-18

Pernahkah Anda menyadari bahwa air bah pada zaman Nuh itu melingkupi bumi selama lima bulan penuh? Betapa lamanya! Hujan sehari semalam saja sudah menimbulkan banjir dan banyak kesulitan. Apalagi jika sampai lima bulan, kehidupan di dunia ini pasti binasa. Belum lagi jika kita membayangkan mereka yang ada dalam bahtera (manusia dan berjenis-jenis binatang) mengalami krisis “rindu tanah”.

Dalam situasi begitu, lega rasanya membaca kalimat, “Maka Allah mengingat Nuh dan segala binatang liar dan segala ternak, yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu, dan Allah membuat angin mengembus melalui bumi, sehingga air itu turun” (ayat 1). Allah menghukum, tetapi Dia juga mengingat makhluk yang akan menjadi cikal bakal permulaan kehidupan dunia. Karena itu Allah mulai menyurutkan air bah dalam proses yang cukup panjang dan alami. Bukan serta merta air surut! Allah menghargai proses alam. Air bertiup, hujan berhenti, air makin surut selama 3 bulan. Pada bulan ke-7, bahtera kandas di pegunungan, pada bulan ke-10, puncak-puncak gunung tampak. Empat puluh hari setelahnya, Nuh melepas burung gagak dan merpati untuk mencari tahu apakah air telah kering. Nuh sabar menunggu dan terus mencoba memahami keadaan. Sikapnya yang telaten dan tertata, layak diteladani. Sampai akhirnya, bumi benar-benar kering. Namun, Nuh tidak langsung turun. Ia menunggu sabda Allah (ayat 16), baru ia keluar bersama keluarganya dan binatang-binatang.

Mari belajar dari ketaatan Nuh mengelola hari-hari, membaca tanda-tanda “zaman”, dan terus berusaha, sambil tetap berjalan di belakang Allah—tidak mendahului-Nya.

JANGAN PERNAH MELANGKAH MELEBIHI LANGKAH ALLAH

Penulis: Daniel K. Listijabudi

Thursday, May 14, 2009

~Renungan Hari ini , Kamis tanggal 14 Mei 2009

MENABUR ANGIN
Hosea 8 : 4 - 19

Seorang kakek tinggal di sebuah panti jompo. Kelima anaknya yang semuanya sudah berkeluarga hampir tidak pernah mengunjunginya. Bahkan ia juga tidak mengenal sebagian dari cucunya. Tetapi ia sadar, itu adalah buah yang ditaburnya dulu. Sewaktu muda ia tidak pernah memerhatikan orangtuanya. Ia meninggalkan anak-anak dan istrinya, dan menikah lagi dengan wanita lain yang lebih muda. Padahal, ketika itu sang istri tengah mengandung anak kelima. Tidak heran kalau sekarang ia menuai sikap antipati dari anak-anaknya. Kakek itu pun hanya bisa menyesali perbuatan-perbuatannya di masa lalu.

Dosa memang seperti bumerang, bisa berbalik menghancurkan diri sendiri. Hal itulah yang dialami oleh umat Israel, seperti dalam bacaan Alkitab hari ini. Mereka memberontak kepada Tuhan; melakukan tindakan yang tercela di mata Tuhan, menyembah berhala, dan tidak mengindahkan perintah Tuhan. Mereka seumpama orang yang “menabur angin”, akibatnya mereka “menuai puting beliung” (ayat 7a). Dengan kata lain, karena dosa-dosa mereka di masa lalu, mereka kemudian menuai kesulitan demi kesulitan, penderitaan demi penderitaan.

Ini pelajaran buat kita, betapa pentingnya menjaga diri dari berbuat dosa. Betul, karena kasih Allah yang begitu besar, selalu tersedia pengampunan-Nya atas kita. Namun demikian kita tidak boleh lupa bahwa kita juga tetap harus menanggung akibat dari setiap dosa yang telah kita berbuat. Maka, dengan kita berusaha menjaga diri dari dosa, itu sebetulnya kita tengah berbuat baik pada diri sendiri.

JANGAN MENABUR ANGIN KALAU TIDAK INGIN MENUAI BADAI

Penulis: Ayub Yahya

Wednesday, May 13, 2009

~Renungan Hari ini , Rabu tanggal 13 Mei 2009

Berontak atau Berserah
2 Korintus 12:7-10

Seorang anak sakit keras. Ia harus segera disuntik agar obat bisa langsung masuk ke dalam pembuluh darahnya. Namun, begitu melihat jarum suntik, si anak memberontak. Meronta-ronta sambil menjerit dan menangis. Takut disuntik. Karena bergerak terus, sulit bagi dokter untuk memasukkan jarum suntik. Baru setelah ia kelelahan dan lemas kehabisan tenaga, dokter bisa menyuntiknya. Obat pun masuk ke dalam tubuhnya. Proses penyembuhan dimulai.

Tanpa sadar, kita sering bersikap seperti anak kecil tadi. Ketika menghadapi kenyataan sulit, kita berontak. Panik. Protes. Marah. Sulit menerima kenyatan itu. Begitu pula Rasul Paulus. Saat mendapatkan “duri dalam daging” berupa sakit-penyakit, spontan ia berseru pada Tuhan minta disembuhkan. Berkali-kali. Sayang, upaya itu gagal. Paulus tidak disembuhkan. Namun, harapannya tidak sirna. Dari situ ia belajar satu hal penting: perlunya berdamai dengan kelemahannya. Bukannya berontak, ia berserah diri. Bergantung pada Tuhan sepenuhnya. Justru pada saat itulah, kuasa Tuhan turun menaunginya. Ia dimampukan hidup bersama kelemahan itu dengan kekuatan ilahi.

Adakah masalah yang selama ini terus merongrong diri Anda? Bentuknya bisa berupa sakit-penyakit, cacat kepribadian, atau kelemahan lainnya. Sudahkah Anda berdamai dengan kelemahan Anda tersebut, atau terus memberontak? Jika Tuhan tidak menyembuhkan, relakah Anda hidup bersama kelemahan itu? Tuhan bisa mengaruniakan kekuatan agar Anda sanggup menanggungnya. Maka, serahkanlah diri Anda kepada-Nya! Jika Anda lemah, maka Anda kuat!

Kadang kita dibiarkan memiliki kelemahan supaya kita belajar bergantung pada kuasa Tuhan

Penulis: Juswantori Ichwan

Saturday, May 9, 2009

~Renungan Hari ini , Sabtu tanggal 9 Mei 2009

Taktik Leimena
Hakim - hakim 7 : 23 - 25

Yohannes Leimena terkenal karena pendekatannya yang khas dalam menanggapi lawan bicara yang berbeda pendapat dengannya. Sebagai Ketua Komisi Militer dalam Konferensi Meja Bundar 1949, misalnya, ia berhadapan dengan Buurman van Vreeden, wakil pihak Belanda. Leimena mengawali perundingan dengan mengungkapkan kebaikan Buurman, antara lain bahwa nama Buurman berarti tetangga perdamaian. Setelah sanjungan yang bertubi-tubi, barulah ia menunjukkan bagian yang tidak disetujuinya dari pandangan Buurman. Lalu ia menutupnya dengan sejumlah usul yang menekan Belanda. Taktiknya berhasil.

Om Jo, begitu ia disapa, tampaknya mengikuti nasihat Salomo. Ia meredakan konflik dengan menggunakan perkataan yang lemah lembut. Sanjungannya bukan kata-kata manis yang menjilat, melainkan pujian yang tulus dan objektif. Ia bersikap seperti Gideon dalam menghadapi bani Efraim yang merasa tersinggung karena tidak dilibatkan sejak awal dalam pertempuran melawan bangsa Midian. Bukannya marah oleh kecaman mereka, Gideon berbicara dengan lemah lembut, dan menggarisbawahi perbuatan baik yang telah mereka lakukan. Sikapnya tersebut berhasil melunakkan hati bani Efraim.

Seperti Om Jo, kita perlu mengikuti nasihat Salomo dalam menangani konflik. Dengan memuji kebaikan orang lain secara tulus, kita dapat melunakkan hatinya dan membuatnya terbuka untuk menerima masukan. Dengan berbicara secara lembut, kita dapat menyampaikan argumentasi secara jernih dan tepat sasaran. Pendekatan ini tentu membuka jalan bagi penyelesaian konflik dan pemulihan hubungan

PERKATAAN LEMAH LEMBUT AKAN MENYELESAIKAN PERDEBATAN TANPA MELUKAI HATI ATAU MENYINGGUNG PERA

Penulis: Arie Saptaji

Friday, May 8, 2009

~Renungan Hari ini , Jumat tanggal 8 Mei 2009

Tergesa - gesa Membawa Celaka
1 Samuel 13 : 1 - 14

Alkisah pada masa Dinasti Song ada seorang petani yang tidak sabar. Ia merasa padi di sawahnya tumbuh sangat lambat. Akhirnya ia berpikir, “Jika saya menarik-narik padi itu ke atas, bukankah saya membantunya bertumbuh lebih cepat?” Lalu ia menarik-narik semua padinya. Sampai di rumah, dengan bangga ia bercerita kepada istrinya bahwa ia baru saja membantu padinya bertumbuh lebih cepat. Keesokan harinya ia pergi ke sawah dengan bersemangat, tetapi betapa kecewanya ia ketika melihat bahwa semua padi yang kemarin ditariknya ke atas sudah mati. Karena tidak sabar, “usahanya untuk membantu” malah membuatnya rugi besar.

Demikian pula dengan Saul, raja Israel. Sebelum Saul maju berperang ke Gilead melawan bangsa Filistin, Samuel sudah berpesan bahwa ia akan datang kepada Saul untuk mempersembahkan korban. Samuel meminta Saul menunggu ia datang untuk memberi instruksi (1 Samuel 10:8). Namun, Saul tidak mengindahkan perintah Samuel maupun hukum Tuhan. Ia tidak sabar menunggu Samuel. Ia lebih takut ditinggalkan rakyatnya daripada takut kepada Tuhan. Ketidaksabarannya membawa dampak yang fatal, Tuhan menolaknya sebagai raja (ayat 14).

Dalam hidup ini, kita juga acap kali tidak sabar menunggu waktu Tuhan. Ketika pertolongan Tuhan rasanya tak kunjung tiba, jangan tergesa mengambil jalan. Bukannya menyelesaikan masalah, malah kerap mendatangkan masalah baru yang lebih besar! Akar ketidaksabaran adalah tidak percaya. Jika kita sungguh-sungguh percaya Allah lebih dari mampu menolong, kita akan menanti Dia dengan sabar

DALAM HIDUP ORANG YANG SABAR SELALU ADA BANYAK KESEMPATAN UNTUK ALLAH BERKARYA

Penulis: Grace Suryani

~Renungan Hari ini , Rabu tanggal 6Mei 2009

Bukan Soal Keturunan
2 Samuel 13 : 30 - 39

Waktu kampanye calon anggota legislatif beberapa bulan lalu, ada calon yang berkampanye dengan mencantumkan silsilah keturunannya; bahwa ayahnya adalah Jenderal Anu, kakeknya tokoh Par­tai Anu, dan kakek buyutnya cicit dari Raja Anu. Sebetulnya, sifat atau perilaku seseorang tidak selalu berkenaan dengan keturunan (genetis). Seseorang yang orangtuanya berbudi baik, tidak serta merta dirinya berbudi baik pula. Dalam cerita silat Sia Tiaw Eng Hiong, Yo Kang adalah seorang yang jahat dan gila kekuasaan. Sedang Kwee Ceng baik hati dan ksatria. Namun, dalam kelanjutan cerita itu, Sin Tiaw Hiap Lu, Yo Ko, anak Yo Kang, justru tampil sebagai pahlawan hebat. Sedang Kwee Hoe, salah seorang anak Kwee Ceng, selain keras kepala juga kasar. Ia tega membuntungi tangan Yo Ko.

Seperti juga Daud. Terlepas dari segala kesalahannya di masa lalu, ia adalah seorang tokoh yang hebat; raja yang paling berhasil dalam sejarah Israel, juga sangat piawai menulis mazmur. Namun anak-anaknya malah berbuat aib. Amnon memerkosa Tamar, anaknya dari lain ibu. Absalom, kakak kandung Tamar, yang menyimpan dendam terhadap Amnon, akhirnya membunuh saudara tirinya itu (2 Samuel 13). Daud pun hanya bisa menangisi tragedi itu.

Oleh karena itu, jangan buru-buru bangga kalau kita ini keturunan orang hebat, tidak lantas kita akan jadi orang hebat pula. Sebaliknya jangan kecil hati kalau kita lahir dari keluarga yang mungkin punya reputasi kurang baik di masa lalu, itu sama sekali bukan halangan untuk kita dapat menjadi orang yang baik dan berhasil.

JANGAN MENILAI SESEORANG BERDASARKAN KETURUNAN

Penulis: Ayub Yahya

Friday, May 1, 2009

~Renungan Hari ini , Jumat tanggal 2 Mei 2009

DIMANA SAJA, KAPAN SAJA
Ulangan 6 :4 - 9

Ada satu pengalaman yang berkesan bersama ayah saya, saat beliau mengantar saya ke sekolah pada hari pengumuman kelulusan SMP. Ketika kami menemukan tempat kosong, tiba-tiba sebuah mobil lain menyerobot untuk parkir di tempat yang sama. Dan Ayah membiarkannya! Saya kesal dan mengomel. Namun tak jauh dari situ, tiba-tiba ada mobil yang keluar. Dan kami mendapatkan tempat yang lebih bagus dari yang pertama! Ayah yang tadi diam saja saat saya mengomel, tiba-tiba berkata, “Kalau kita mengalah, Tuhan sendiri akan membuka jalan.” Hari itu saya belajar tentang dua hal. Pertama, kita tidak rugi kalau mengalah pada orang lain. Kedua, kita bisa belajar tentang Tuhan di mana saja, termasuk di tempat parkir.

Acap kali orang mengartikan pendidikan rohani anak hanya sebatas kegiatan ke Sekolah Minggu atau berdoa bersama. Padahal kesempatan untuk mengenalkan Tuhan sebenarnya bisa terjadi setiap saat. Musa menulis kitab Ulangan untuk generasi baru Israel yang akan masuk ke tanah Kanaan. Musa tidak hanya memberi tahu ketetapan Tuhan, tetapi juga cara mengajarkannya. Hukum Tuhan harus diajarkan berulang-ulang kepada anak-anak, pada setiap kesempatan. Baik di rumah, di perjalanan, di kamar tidur, ketika bangun maupun berbaring (ayat 7). Singkatnya, mengenalkan anak kepada Tuhan harus dilakukan dalam hidup keseharian kita.

Hari ini, jika Anda rindu mendidik anak-anak di dalam Kristus, mari minta kepekaan agar dapat memanfaatkan setiap situasi untuk mengajar tentang hukum Tuhan. Baik itu di tengah kemacetan, ketika makan bersama, atau berbagai kesempatan lain.

PENGENALAN AKAN KRISTUS BISA DILAKUKAN DI MANA SAJA DAN KAPAN SAJA

Penulis: Grace Suryani

~Renungan Hari ini , Jumat tanggal 1Meil 2009

PILIHLAH KEHIDUPAN
Ulangan 30 : 15 - 20

Novel The Kite Runner, karangan Khaled Hosseini, penulis asal Afganistan yang kini tinggal di Kalifornia, Amerika Serikat, mengisahkan dua orang sahabat—yang juga bersaudara tiri—Hasan dan Amir. Hasan sangat setia pada Amir. Ia mau berkorban apa saja untuk Amir. Sebaliknya, Amir juga menyayangi Hasan, walau kadang-kadang—didorong rasa cemburunya—ia bersikap tidak baik terhadap Hasan. Suatu hari, secara diam-diam Amir melihat Hasan dianiaya oleh beberapa anak berandalan. Amir bergumul dalam hati: menolong Hasan dengan risiko ia juga akan dipukuli, atau lari menjauh dan pura-pura tidak tahu. Amir memilih cara kedua, ia melarikan diri. Pilihannya itulah yang kemudian mengubah jalan hidupnya.

Kepada kita akan selalu diperhadapkan pilihan-pilihan; maju atau mundur, berkata jujur atau berbohong, berlaku setia atau berkhianat, memberikan bantuan atau tidak ambil peduli, mengumpat atau menahan diri, dan sebagainya. Apa yang kita pilih itu bisa jadi akan sangat menentukan cerah suram, senang susah, baik buruknya kehidupan kita pada masa depan.

Dalam pidato perpisahannya, Musa juga menghadapkan pilihan kepada umatnya; kehidupan dan keberuntungan, atau kematian dan kecelakaan (ayat 15). Pilihan apa pun ada risikonya, baik atau buruk. Musa menasihatkan supaya mereka memilih apa yang baik dan benar, sehingga mereka dapat memetik buah yang manis (ayat 20). Ini bisa menjadi panduan buat kita ketika kita harus memilih: kapan pun dan dalam hal apa pun, pilihlah apa yang berkenan kepada Allah.

SELALU ADA HARGA YANG HARUS DIBAYAR DENGAN PILIHAN KITA

Penulis: Ayub Yahya